Pendekatan “Soft Power” dan Peluang Ekspansi Bisnis

Pendekatan Soft Power

Pendekatan Soft Power – Pernah di suatu masa kalangan muda Indonesia terutama di perkotaan begitu tergila – gila dengan segala sesuatu yang berbau K-Pop dan K-Drama. Subgenre musik pop dan seri televisi ala Korea Selatan yang dapat di nikmati streaming atau tayang di sejumlah stasiun televisi di seluruh dunia. Begitu hebatnya gaung yang di hasilkan maka di sebut sebagai “Korean Wave” (Gelombang Korea).

Jauh sebelumnya masakan Korea mulai mencuri perhatian publik. Mengalahkan fast food ala Amerika atau “Japanese Food” yang lebih dahulu di akrabi masyarkat.

Berawal dari musik, tontonan, masakan, sebagian segmen mulai tertarik dengan budaya, adat istiadat dan kebiasaan – kebiasaan dari negara asing yang seolah “menempati” pikiran dan “memodifikasi” perilaku warga lokal.

Tidak berhenti sampai di situ, belakangan jaringan resto dari China mulai menyerbu berbagai negara. Menyebut beberapa jenama seperti Mixue dan Haidilao yang “menginvasi” berbagai suduh mal dan kota di Indonesia. Bahkan Mixue di temukan di pelosok kota hingga kecamatan di kota kecil.

Fenomena ini terjadi, di tengarai karena ketatnya persaingan di negeri asal di barengi dengan situasi ekonomi dalam negeri yang tidak kunjung membaik mendorong para pebisnis China melakukan ekspansi ke mancanegara. Hal ini juga di dukung oleh kebijakan pemerintah yang memberikan ruang gerak pebisnis untuk melakukan ekspansi melintasi batas negara.

Pendekatan “soft power”

Di balik itu, kondisi yang terjadi bukan kebetulan, namun melalui pemikiran dan perencanaan matang. Pendekatan “soft power” telah di jalankan negara dengan mendorong para pebisnis untuk memasuki pasar asing.

Di kutip dari Oxford English Dictionary, frase “soft power” adalah kekuatan, bisa dari suatu bangsa, negara bagian, aliansi dan sebagainya, yang bersumber dari pengaruh ekonomi dan budaya, bukan paksaan atau kekuatan militer. Adalah Joseph Nye Jr yang pada 1990 mempopulerkan “soft power” dalam tulisan di Foreign Policy, publikasi berita yang di terbitkan pertama kali pada akhir 1970 oleh Samuel Phillips Huntington, seorang Profesor Politik dari Harvard University.

Nye berpendapat bahwa soft power berasal dari budaya suatu negara, nilai – nilai politik, dan kebijakan dalam dan luar negeri yang sah, dan di perkuat oleh model tata kelola domestik yang positif, suksesnya ekonomi, dan militer kompeten. Surowiec (2017) melaporkan bahwa nation branding adalah sumber daya soft power yang memiliki kapasitas untuk mendorong perubahan di arena politik.

Secara umum kekuatan berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu dan mengendalikan orang lain agar melakukan apa yang tidak akan mereka lakukan. Para politisi menggunakan populasi, wilayah, sumber daya alam, ukuran ekonomi, kekuatan militer untuk memperlihatkan kekuasaan.

Saat ini, definisi kekuasaan kehilangan penekanan pada kekuatan militer dan penaklukan seperti era sebelumnya dan beralih pada faktor – faktor teknologi, pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi. Aspek tersebut menjadi lebih signifikan dalam kekuatan internasional.

Baca juga artikel tentang Destinasi Wisata Khusus Pria, Wanita Dilarang Masuk

Implementasi “soft power”

Mahasiswa Tiongkok menggunakan simbol patung Liberty selama demonstrasi Tiananmen tahun 1989. Meskipun pemerintah China memproter campur tangan AS, warga negara China tetap tertarik pada demokrasi dan budaya Amerika. Tentu saja, ada hal – hal yang terasa ringan dan remeh dalam perilaku populer, tetapi juga benar bahwa negara yang cerdas memanfaatkan saluran komunikasi populer memiliki lebih banyak peluang untuk menyampaikan pesannya dan memengaruhi preferensi orang lain.

Seperti Amerika Serikat sebagai negara eksportir film terbesar meskipun produksi film Amerika bukan yang terbesar, kalah dari India, namun mereka memiliki jaringan global untuk distribusi film. Keberhasilan sektor manufaktur Jepang memberinya sumber soft power penting, tetapi Jepang agak di batasi oleh orientasin budayanya yang ke dalam.

Meskipun Jepang telah luar biasa berhasil dalam menerima teknologi asing, mereka jauh lebih enggan menerima orang asing. Masuknya bisnis asing yang menawarkan produk kebutuhan sehari – hari sedikit banyak telah memengaruhi perilaku konsumen, menjadi kebiasaan yang perlahan membentuk budaya baru. Sisi positif bisa di ambil, tapi tak sedikit yang bisa melemahkan kearifan lokal.

Soft power memberikan peluang bagi negara berkembang untuk “membahasakan” maksud dan sasaran yang ingin di capai dalam cara yang paling halus. Memasuki pikiran, memengaruhi sikap dan perilaku. Bagaimana dengan jenama lokal Indonesia yang perlahan juga mulai merangsek ke pasar regional, bahkan global?

Walau belum memberikan dampak yang demikian kuat karena masih bergerak sendiri – sendiri. Peluang untuk “mengekspor” budaya lokal ke luar negeri dengan produk – produk yang “Indonesia banget” masih terbuka lebar.

Soft power dengan jenama lokal yang mendunia adalah kesempatan menjadikan Indonesia di pandang dan berpengaruh, dengan cara – cara yang kekinian. Kesempatan itu mestinya tidak di lewatkan begitu saja dan berpadu menjadi kebijakan Nasional.

Post Comment